ANALISIS CERPEN “TRAGEDI ASAP” KARYA GIGIH SUROSO




ANALISIS CERPEN “TRAGEDI ASAP” KARYA GIGIH SUROSO
Mata Kuliah : Apresiasi Prosa

DosenPengampu :
Siswanto, S.Pd., M.A.


Disusun oleh :
Fuadillah Riski Buyung Utama (180210402026)
Adel Fia Inka Gusti (180210402027)
Ulfa Sifa Urrohmah (180210402031)
Muhammad Anggi Rizka (180210402044)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019

Kata Pengantar
Karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks. Struktur yang kompleks ini terdiri dari  bagian-bagian (unsur-unsur) karya sastra itu mempunyai makna dalam hubungannya dengan yang lain dan keseluruhannya. Nurgiyanto mengemukakan bahwa karya sastra adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya. Unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra terbagi menjadi unsur-unsur ekstrinsik dan intrinsik.
Karya sastra memiliki beberapa jenis (genre ). Diantara jenis karya sastra tersebut yaitu cerita pendek (cerpen). Cerpen termasuk kedalam jenis genre sastra, yaitu  karangan narasi, narasi merupakan karangan berupa rangkaian peristiwa yang terjadi dalam satu kesatuan waktu. Selain cerpen, karangan yang tergolong kedalam jenis narasi adalah novel, roman, dan semua karya prosa imajinatif.
Karangan jenis ini bermaksud menyajikan peristiwa atau mengisahkan apa yang telah terjadi dan bagaimana suatu peristiwa terjadi. Selain berdasarkan fakta, kejadiannya boleh berupa sesuatu yang dikhayalkan oleh penulis dan dihidupkan dalam alam fantasi yang sama sekali jauh dari realita kehidupan.
 Salah satu cerpen “Tragedi Asap” cerpen ini menjadi menarik menceritakan tentang kisah masyarakat kelas bawah yang berkerja sebagai buruh, dimana dianggap berada dibawah dalam tingkatan sosial, sedangkan  orang yang memiliki kekayaan materi tingkatnya berada diatas.  Sebagai bentuk karya sastra, cerpen “Tragedi Asap” merupakan sebuah struktur yang dibangun dari unsur-unsur yang saling berkaitan dan bermakna. Oleh karena itu untuk mengetahui unsur-unsur yang membangun dan makna yang terkandung didalam cerpen “ Tragedi Asap” digunakan analisis

1.      Tema
Tema dalam cerpen “Tragedi Asap” terlihat jelas dipembukaan cerpen.
Aku Siti Hajar dan ketiga anakku berjalan cepat menuju jalan raya, mereka menunggu jemputan bus dari Tuan Hadi, pemilik kebun sawit terbesar di Kabupaten Bumi Bertuah. Semua masyarakat di sana pasti kenal dengan Tuan Hadi, dia masih muda, pendatang, bukan asli Melayu, tapi kebun sawitnya sangat luas. Banyak masyarakat yang dulu menjual lahan kepadanya, sebab menanam sawit itu harus punya modal besar.
Berdasarkan jenis-jenis tema menurut Shipley, cerpen “Tragedi Asap” bertema sosial.
Tema sosial merupakan tema yang mencakup masalah sosial. Hal-hal yang di luar masalah pribadi, dalam artian manusia sebagai makhluk sosial. Dalam proses kreatif pengarang, selalu melihat realitas sosial sebagai sumber inspirasi yang cukup penting. Kepekaan pengarang dalam melihat realitas kehidupan sebagai bahan penciptaan karya sastra menjadikan karya tersebut hidup dan menyatu dengan realitas kehidupan  yang sesungguhnya (Sugiarti, 2014: 136). Cerpen “Tragedi Asap” pengarang menceritakan tentang kisah masyarakat kelas bawah yang berkerja sebagai buruh, dimana dianggap berada dibawah dalam tingkatan sosial, sedangkan  orang yang memiliki kekayaan materi berada diatas tingkatnya. Hal tersebut memperlihatkan masalah sosial yaitu kesenjangan yang terjadi dalam realita kehidupan. Selain kesenjangan cerpen “Tragedi Asap” ini juga memperlihatkan bagaimana masyarakat tanah air menjadi buruh di negaranya sendiri, dan menjadi bawahan orang asing. Bahkan mereka tidak merasa tertindas dan lebih memilih hidup dibawah kuasa orang asing, seperti pada kutipan berikut ini.
Hidup di sini tidaklah buruk, semua kebutuhan masyarakat miskin seperti kami banyak dibayai orang-orang kaya seperti Tuan, disini juga banyak bule, kami memanggil Sir. Ada Sir Jhon, Sir Hendric, Sir Josep dan banyak lagi.
Diakhir cerita pengarang juga memperlihatkan bagaimana penderitaan masyarakat bawah akibat ulah penguasa. Kejadian itu sangat relevan atau sering dijumpai dalam kehidupan nyata. Contohnya ulah pengusaha batu bara yang acuh terhadap dampak lingkungan yang dapat mengancam penduduk sekitar.
Tema pada cerpen ini masih relevan dengan kehidupan sekarang ini. Karena sudah menjadi rahasia umum. Bahwa masyarakat tanah air menjadi buruh di negaranya sendiri. Seperti banyak sekali perusahaan yang berdiri di tanah air namun sang pemilik bukanlah anak bangsa sendiri. Selain itu sifat mudah merasa puas juga dijelaskan oleh pengarang dalam cerpen “Tragedi Asap” yang juga sangat relevan dengan sifat masyarakat tanah air pada umumnya.
2.       Fakta Cerita
Fakta cerita menurut Stanton (2012:20-47) meliputi setting (latar), plot (alur), dan karakter (penokohan).
2.1 Setting (latar)
Latar menurut menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2000:216), terbagi menjadi tiga kategori yaitu tempat, waktu, dan sosial. Maksud dari latar tempat adalah hal-hal yang berkaitan dengan masalah geografis, latar waktu berkaitan dengan masalah-masalah historis, dan latar sosial berhubungan dengan perilaku atau tata cara kehidupan kemasyarakatan, yang dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain. Latar tempat dalam dibuktikan pada kutipan berikut.
Aku Siti Hajar dan ketiga anakku berjalan cepat menuju jalan raya, mereka menunggu jemputan bus dari Tuan Hadi, pemilik kebun sawit terbesar di Kabupaten Bumi Bertuah.(..) (Tragedi Asap, Suroso)
Secara umum latar tempat peristiwa dalam cerpen “Tragedi Asap” terjadi di Kabupaten Bumi Bertuah. Pengarang menggambarkan latar tempat dipembukaan cerpen. Adapun latar tempat yang lain yaitu saat berpesta di Rumah Gedong Tuan Hadi pemilik perkebunan kelapa sawit.
Latar waktu dalam cerpen “Tragedi Asap” tidak dijelaskan atau tidak diungkapkan oleh pengarang secara langsung. Melainkan diungkapkan dengan aktifitas yang dilakukan oleh tokoh yang ada dalam cerpen tersebut. Mulai dari menunggu bis, lalu sesampainya di Rumah Gedong Tuang Hadi, ketika selesai dengan pesta tokoh yang terdapat dalam cerpen tersebut yaitu Siti dan Ani ingin pergi ke mall besok, sampai pada tragedi yang menimpa mereka saat azan subuh.
Latar sosial dalam cerpen “Tragedi Asap” menggambarkan kegiatan masyarakat yang berkerja sebagai buruh, lalu diundang untuk pesta ke Rumah Gedong Tuan Hadi. Setelah pulang dan digaji yang jumlahnya sedikit bertambah dari biasanya, para tokoh dalam cerpen ingin libur berkerja dan memilih untuk pergi ke mall bersenang-senang. Hal tersebut sangat relevan dalam kehidupan nyata, dimana masyarakat cenderung lebih cepat merasa puas daripada menabung dan memperrgunakan uang dengan sebaik-baiknya.
Secara keseluruhan latar yang terdapat dalam cerpen “Tragedi Asap” sudah relevan dengan tema yaitu tema sosial. Karena menggambarkan masalah sosial masyarakat.

2.2 Plot (Alur)
Alur menurut Stanto (2012:26 ) adalah rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita yang berhubungan sebab akibat. Analisis alur cerpen “Tragedi Asap” ini menggunakan tahapan yang dikemukakan oleh Tafsir (dalam Nurgiantoro, 2010:149).
Aku Siti Hajar dan ketiga anakku berjalan cepat menuju jalan raya, mereka menunggu jemputan bus dari Tuan Hadi, pemilik kebun sawit terbesar di Kabupaten Bumi Bertuah. Semua masyarakat di sana pasti kenal dengan Tuan Hadi, dia masih muda, pendatang, bukan asli Melayu, tapi kebun sawitnya sangat luas. Banyak masyarakat yang dulu menjual lahan kepadanya, sebab menanam sawit itu harus punya modal besar.
Tahap yang pertama yaitu Situation merupakan penggambaran dan pengenalan latar dan tokoh cerita. Kutipan diatas sudah menjelaskan latar dan tokoh cerita pada cerpen “Tragedi Asap” yaitu latar tempat berada di Kabupaten Bumi Bertuah. Sedangkan tokoh bernama Siti Hajar dan ketiga anaknya.
“Ti, Aku dengar ada yang mau membersihkan hutan terlarang itu” Jari telunjuk Ani mengarah ke Hutan nan hijau, diatasnya banyak burung-burung terbang.
“Ahh,  kata siapa, mana boleh hutan itu dibersihkan, biarkanlah saja dia tetap hijau, lagian itu hutan terlarang.”  Aku tak ingin percaya, mes­ki Abah dan orang orang dulu sudah tidak ada, tetap saja hutan itu tidak boleh ditebang.
Tahap kedua yaitu Generating Circumstances merupakan tahap pemunculan konflik, dan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan terjadinya konflik mulai dimunculkan. Pengarang memunculkan konflik dengan dialog antar tokoh, mengenai kabar bahwa hutan terlarang akan dibersihkan atau membuka lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit.
Tiba-tiba mataku terasa sepat, aku dengar sudah azan subuh, tapi kenapa aku tidak bisa melihat apa-apa, semuanya jadi putih, dadaku susah bernafas. Aku meraba-raba ranjang, tidak aku temukan ketiga anakku. Kemana mereka. Aku beranikan untuk bernafas.
“Ini asap” Aku teriak dan mulai kebingungang, diluar sana para tetangga juga sudah kebingungan dicampur isak tangis. Ada kobaran api dari hutan larangan. Aku belum juga menemukan anak-anakku. Sambil terus meraba-raba seperti orang buta.  Tiba-tiba kakiku tersantung benda besar.
Tahap ketiga Rising Action merupakan tahap yang memperlihatkan peristiwa-peristiwa yang mulai memuncak. Hal tersebut diceritakan oleh pengarang dengan memperlihatkan penderitaan yang dialami tokoh akibat asap yang sudah mengepul.
Aku semakin kebingungan mau kemana, tidak bisa melihat apa apa, nafasku juga sudah sangat sesak karena asap asap ini. Terus kututup hidup dan mulut sebisanya, sambil terus berjalan mencari pintu dan keluar mencari pertolongan.
Tahap keempat yakni Climaks merupakan tahap alur yang memperlihatkan puncak dari peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Pengarang menggambarkan klimaks dengan penderitaan tokoh yang semakin sesak nafas akibat asap.

50 orang menjadi korban, semu­anya anak-anak kecil, termasuk ketiga anakku dan anak Ani. Aku hanya bisa berbaring. Alat bantu nafas terpasang di wajahku, tubuhku masih lemas. pelan-pelan aku melirikkan mataku, tenyata ada ada Ani disana sedang melihat berita.
Tuan Hadi dan keluarga masuk TV, apakah mereka juga terserang asap. Setelah aku dengar dengan seksama, ternyata Tuan Hadi dan keluarga mengalami kecelakaan. Hotel yang mereka tinggali saat liburan terbakar. Semua sajad dite­mukan di dalam, mereka terkurung api.
Tahap yang terakhir yaitu Denoument tahap alur yang ditandai oleh adanya pemecahan soal dari semua peristiwa. Pengarang dalam menyelesaikan konflik dengan menggambarkan tokoh utama sudah mendapat pertolongan dengan alat bantu pernafasan. Selain itu pelaku pembakaran hutan yaitu Tuan Hadi sang pemilik perkebunan sawit dikabarkan mendapat balasan dengan musibah yang sangat tragis, keluarganya terbakar di hotel tempat penginapan mereka ketika sedang berlibur.
Dari semua tahap yang dikemukakan oleh Tafsir, cerpen Tragedi Asap ini memiliki alur lurus atau progresif. Alur yang disampaikan pengarang sudah relevan dengan tema. Karena sudah menggambarkan peristiwa mulai dari pengenalan tokoh sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit, tokoh utama dengan tokoh pelengkap mendapat undangan pesta dari Tuan mereka sekaligus dalam rangka pemberian gaji. Lalu sampai pada konflik sang tokoh utama menderita sesak nafas akibat kebakaran hutan untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit yang berakhir yang meresahkan masyarakat sekitar. Masalah-masalah tersebut sangat berkaitan dengan masalah sosial yang terjadi di masyarakat.
2.3 Tokoh dan Penokohan
Analisis tokoh dan penokohan dalam cerpen Tragedi Asap dikategorikan berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan.
Aku Siti Hajar dan ketiga anakku berjalan cepat menuju jalan raya, mereka menunggu jemputan bus dari Tuan Hadi, pemilik kebun sawit terbesar di Kabupaten Bumi Bertuah.
Siti Hajar dalam cerpen Tragedi Asap, merupakan tokoh statis (tidak berkembang). Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan. Pengarang dalam menceritakan Tokoh Siti hajar bersifat statis, dari awal cerita sampai akhir cerita tidak mengalami perkembangan dalam hidupnya, ia tetap menjadi buruh.
Acara pun dibuka, Tuan Hadi dan keluarganya berdiri di atas panggung dengan wajah ceriah. Mereka bercerita bahwa panen sawit kali ini sangat berhasil, untuk itu mereka akan memberikan uang 500 ribu untuk semua yang datang. Sudah pasti kami senang. Itu gaji kami sebulan sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit milik mereka.
Tuan Hadi termasuk tokoh berkembang. Tokoh berkembang adalah tokoh yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot yang dikisahkan. Pengarang dalam menceritakan Tuan Hadi awalnya merupakan pengusaha yang baik, karena panen kelapa sawitnya berhasil, ia tidak segan memberi tambahan upah kepada pegawainya dan mengadakan pesta di Rumah Gedong nya. Namun di akhir cerita kejadian naas menimpa Tuan Hadi beserta keluarganya yang tewas akibat kebakaran hotel. Hal tersebut terjadi karena ketamak an Tuan Hadi dengan membakar hutan terlarang untuk memperluas perkebunan kelapa sawitnya. Dapat dilihat pada kutipan berikut.
Tuan Hadi dan keluarga masuk TV, apakah mereka juga terserang asap. Setelah aku dengar dengan seksama, ternyata Tuan Hadi dan keluarga mengalami kecelakaan. Hotel yang mereka tinggali saat liburan terbakar. Semua sajad dite­mukan di dalam, mereka terkurung api.
“Tuhan tidak tidur, beraninya mereka membakar hutan terlarang, “ujar Ani, campur aduk rasanya, entah sedih karena kehilangan anaknya atau senang karena pelaku pembakaran hutan terlarang sudah diambil Tuhan. ***
Tokoh dan penokohan dalam cerpen Tragedi Asap relevan dengan tema yaitu tema sosial. Setiap tokoh diceritakan sesuai dengan permasalah sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yaitu tokoh Siti Hajar sebagai buruh yang mudah puas ketika diberi tambahan upah, dan Tuan Hadi sebagai pengusaha yang selalu ingin menambah kekayaan materinya dengan membuka lahan lagi untuk perkebunan sawitnya.
3.      Sarana Cerita
Sarana cerita  menurut Stanton (2012:46) adalah metode pengarang memilih dan menyusun detail-detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Tujuan penggunaan sarana cerita supaya pembaca dapat melihat fakta cerita melalui kacamata tokoh yang dibuat pengarang. Sarana cerita pada umumnya meliputi gaya dan simbol.


3.1  Gaya
Gaya pada hakikatnya merupakan teknik, teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan (Nurgiantoro, 2010:277).
Lima bus sudah penuh lewat di depanku, semoga masih ada satu. Dan alhamdulillah 5 menit kemudian sebuah bus mewah berdiri di depanku, disana Ani janda anak dua itu sudah bergantung di pintu bus.
Secara keseluruhan gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen “Tragedi Asap” adalah bahasa denotatif atau lugas. Pengarang menceritakan cerpennya dengan menggunakan bahasa yang lugas atau tidak konotatif. Sehingga mudah dimengerti dan dapat dinikmati oleh pembaca dari kalangan manapun.
“Masih ingat kau Ti, kita pernah disuruh Pak Guru mencari madu disini” kata Ani memecah hening, suaranya berhasil memecah ricuhnya angin.
Namun ada terdapat pemakaian majas dalam cerpen “Tragedi Asap” yaitu pemakaian majas hiperbola. Ketika tokoh pelengkap menanyakan sesuatu kepada tokoh utama, tokoh utama menganggap bahwa pertanyaan dari temannya tersebut dapat memecah ricuhnya angin. Kalimat tersebut terlihat melebih-lebihkan agar terlihat  menarik sesuai dengan pengertian majas hiperbola.
Gaya yang terdapat dalam cerpen Tragedi Asap, sudah cukup relevan dengan tema sosial. Penggunaan bahasanya yang lugas yang disampaikan oleh pengarang membuat pembaca mudah memahami permasalahan sosial yang terjadi dalam cerpen tersebut.
3.2  Simbol
·         Suaranya berhasil memecah ricuhnya angin. (Suaranya keras)
“Masih ingat kau Ti, kita pernah disuruh Pak Guru mencari madu disini” kata Ani memecah hening, suaranya berhasil memecah ricuhnya angin.
Simbol yang terdapat dalam cerpen “Tragedi Asap” menunjukkan sikap tokoh utama yang merasa bahwa suara temannya begitu keras namun tidak diungkapkan secara langsung.
·         Disini juga banyak bule,... (Warga Negara Asing yang sedang tinggal di negara lain)
...disini juga banyak bule, kami memanggil Sir. Ada Sir Jhon, Sir Hendric, Sir Josep dan banyak lagi. Mereka pemilik kebun karet dan sawit di daerah Bumi Bertuah.
Simbol selanjutnya yaitu kata bule yang berarti warga negara asing yang sedang menetap sementara di negara lain.
·         Sesekali wajahku menatap benda besar,... (manusia)
“Ini asap” Aku teriak dan mulai kebingungang, diluar sana para tetangga juga sudah kebingungan dicampur isak tangis. Ada kobaran api dari hutan larangan. Aku belum juga menemukan anak-anakku. Sambil terus meraba-raba seperti orang buta.  Tiba-tiba kakiku tersantung benda besar.
Simbol yang ketiga yaitu sebuah frasa benda besar yang dimaksudkan merujuk pada manusia.
·         Hatiku terus mengutuk,.... (dendam)

Hatiku terus mengutuk, siapa pun yang membakar hutan terlarang itu, dia harus merasakan pedihnya asap seperti kami, perihnya kehilangan orang tersayang seperti kami. Pandanganku gelap, tubuhku lemas dan desahan nafasku hilang.

Simbol yang terakhir yaitu kalimat hatiku terus mengutuk yang berarti dendam, diungkapkan oleh tokoh utama yang menjadi korban akibat kebakaran hutan.
Penggunaan simbol dalam cerpen Tragedi Asap tidak terlalu mendukung tema sosial. Karena simbol yang digunakan hanya sebatas simbol untuk pemaknaan yang biasa.
Lampiran
Tragedi Asap
Cerpen Gigih Suroso (Analisa, 09 Oktober 2019)

Tragedi Asap ilustrasi Alwie/Analisa
Aku Siti Hajar dan ketiga anakku berjalan cepat menuju jalan raya, mereka menunggu jemputan bus dari Tuan Hadi, pemilik kebun sawit terbesar di Kabupaten Bumi Bertuah. Semua masyarakat di sana pasti kenal dengan Tuan Hadi, dia masih muda, pendatang, bukan asli Melayu, tapi kebun sawitnya sangat luas. Banyak masyarakat yang dulu menjual lahan kepadanya, sebab menanam sawit itu harus punya modal besar.
Lima bus sudah penuh lewat di depanku, semoga masih ada satu. Dan alhamdulillah 5 menit kemudian sebuah bus mewah berdiri di depanku, disana Ani janda anak dua itu sudah bergantung di pintu bus.
“Cepatlah kau naik, sudah aku sediakan satu kursi untukmu” ajak Ani sambil  mengangkut anak anakku naik ke bus. Sedangkan Aku dan Ani berdiri, kami menatap luas lahan di daerah Bui Bertuah ini, dulu semak belukar, hutan lebat yang dihuni banyak binatang. Sekarang sudah bersih, dihuni tanaman sawit yang masih kecil
Bus terus melaju, butuh waktu 1 jam untuk sampai ke Rumah Gedong Tuan Hadi. Sepanjang perjalanan ujung jilbabku terus berkibar, sesekali naik keatas dan harus ku tahan agar tidak lepas.
“Masih ingat kau Ti, kita pernah disuruh Pak Guru mencari madu disini” kata Ani memecah hening, suaranya berhasil memecah ricuhnya angin.
“Masih, disana dulu masih hutan lebat, untungnya ada Indra, dia mem­bawa parang abbat untuk menebas semak belukar.” Aku bicara di dekat telinganya.
Hidup di sini tidaklah buruk, semua kebutuhan masyarakat miskin seperti kami banyak dibayai orang-orang kaya seperti Tuan, disini juga banyak bule, kami memanggil Sir. Ada Sir Jhon, Sir Hendric, Sir Josep dan banyak lagi. Mereka pemilik kebun karet dan sawit di daerah Bumi Bertuah. Semua perkebunan kelapa sawit dan karet disini adalah bekas hutan lebat, semuanya sudah pernah kumasuki bersama abah dan keempat kakak laki-laki ku. Hanya ada satu hutan, sampai sekarang masih tetap hutan. Sangat luas sekali, disana ada banyak harimau, orang hutan, beruang dan binatang-binatang lain yang tak mengganggu. Kata  Abah dan orang-orang dulu itu hutan terlarang, tak boleh ditebang satu pohon pun.
“Ti, Aku dengar ada yang mau membersihkan hutan terlarang itu” Jari telunjuk Ani mengarah ke Hutan nan hijau, diatasnya banyak burung-burung terbang.
“Ahh,  kata siapa, mana boleh hutan itu dibersihkan, biarkanlah saja dia tetap hijau, lagian itu hutan terlarang.”  Aku tak ingin percaya, mes­ki Abah dan orang orang dulu sudah tidak ada, tetap saja hutan itu tidak boleh ditebang.
***
Luas sekali rumah Tuan Hadi ini, rupanya didalamnya sudah banyak masyarakat yang datang, ada beberapa macam hiburan, beragam makanan khas melayu, yang lebih penting momen bagi amplop. Lumayan isinya 200 ribu, cukup buat makan sepekan. Aku lihat disana juga berkumpul para Sir dan toke-toke sawit lainnya. Banyak juga orang-orang beramput pirang, seperti mereka dari luar negeri.
Aku dan Ani langsung mengisi tas kami dengan buah-buahan dan makanan. Sedangkan anak-anak kami sibuk melahap ice cream. Hanya momen seperti ini mereka bisa makan enak sepuasnya, sama dengan yang lain juga begitu. Kami ini cuman buruh brondolan, dan tukang babat, gaji tidak seberapa.
“Coba saja dulu Abah tidak menjual lahannya ke Tuan Hadi, mungkin nasibku lebih baik lagi” ujarku pada Ani
“Haha, bangunlah dari mimpi Siti” Ani tertawa puas.
Acara pun dibuka, Tuan Hadi dan keluarganya berdiri di atas panggung dengan wajah ceriah. Mereka bercerita bahwa panen sawit kali ini sangat berhasil, untuk itu mereka akan memberikan uang 500 ribu untuk semua yang datang. Sudah pasti kami senang. Itu gaji kami sebulan sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit milik mereka.
“Saya akan pamit, sebulan ini ada urusan ke luar negeri” Ucap Tuan Hadi dipenghujung sambutannya.
Biasa saja menurutku, orang sekaya Tuan Hadi pasti sangat mudah jalan jalan ke luar negeri. Selesai acara, kami semua diantar pulang, semua wajah terlihat cerah. Semua kami pulang ke rumah dengan kenyang, membawa banyak makan dan uang. Aku berhasil membawa uang 2 juta.
Besok aku mau bolos kerja, begitu juga Ani. Kami akan pergi ke kota, ingin melihat mall dan belanja baju. Tidak apa dipotong gaji sekali saja, uang 2 juta ini cukup menutupinya. Anak anak kusuruh tidur cepat, biar besok pagi tidak kesiangan. Sambil berbaring di samping mereka, aku jadi teringat kata Ani soal hutan larangan yang mau dijadikan lahan. Semoga saja tidak, aku tidak mem­bayangkan apa jadinya nanti, bisa jadi penghuninya marah.
***
Tiba-tiba mataku terasa sepat, aku dengar sudah azan subuh, tapi kenapa aku tidak bisa melihat apa-apa, semuanya jadi putih, dadaku susah bernafas. Aku meraba-raba ranjang, tidak aku temukan ketiga anakku. Kemana mereka. Aku beranikan untuk bernafas.
“Ini asap” Aku teriak dan mulai kebingungang, diluar sana para tetangga juga sudah kebingungan dicampur isak tangis. Ada kobaran api dari hutan larangan. Aku belum juga menemukan anak-anakku. Sambil terus meraba-raba seperti orang buta.  Tiba-tiba kakiku tersantung benda besar.
“Uhuk uhuk” ada suara orang batuk disana, tapi kemudian hening. Aku mulai meraba-raba lagi, tidak jauh dari tempat ku duduk, disana terbaring tiga orang dengan keadaan tak bernafas, tubuh mereka sudah kaku. Aku terus berharap semoga bukan anak-anakku. Tapi itu tidak mungkin, di rumah ini cuman tinggal kami berempat.
Aku semakin kebingungan mau kemana, tidak bisa melihat apa apa, nafasku juga sudah sangat sesak karena asap asap ini. Terus kututup hidup dan mulut sebisanya, sambil terus berjalan mencari pintu dan keluar mencari pertolongan.
Sudah 15 menit aku berjalan, sesekali wajahku menatap benda besar atau bahkan manusia. Mereka semua sama sepertiku terjebak asap. Siapa yang berani membakar hutan terlarang, masuk saja tidak boleh. Sambil terus mencari jalan, aku menuju keramaiain, disana sudah ada relawan dengan membawa masker dan tandu.
Hatiku terus mengutuk, siapa pun yang membakar hutan terlarang itu, dia harus merasakan pedihnya asap seperti kami, perihnya kehilangan orang tersayang seperti kami. Pandanganku gelap, tubuhku lemas dan desahan nafasku hilang.
***
50 orang menjadi korban, semu­anya anak-anak kecil, termasuk ketiga anakku dan anak Ani. Aku hanya bisa berbaring. Alat bantu nafas terpasang di wajahku, tubuhku masih lemas. pelan-pelan aku melirikkan mataku, tenyata ada ada Ani disana sedang melihat berita.
Tuan Hadi dan keluarga masuk TV, apakah mereka juga terserang asap. Setelah aku dengar dengan seksama, ternyata Tuan Hadi dan keluarga mengalami kecelakaan. Hotel yang mereka tinggali saat liburan terbakar. Semua sajad dite­mukan di dalam, mereka terkurung api.
“Tuhan tidak tidur, beraninya mereka membakar hutan terlarang, “ujar Ani, campur aduk rasanya, entah sedih karena kehilangan anaknya atau senang karena pelaku pembakaran hutan terlarang sudah diambil Tuhan. ***


Komentar